GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT KEBISINGAN



GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT KEBISINGAN
OLEH : KUNTODI, PGDipSc
Disampaikan Pada
Seminar Sehari Penatalaksanaan Pendengaran dan Ketulian
Di Semarang Tanggal 17 Pebruari 2007



I. PENDAHULUAN

Suara adalah suatu bentuk energi mekanis yang dihasilkan oleh suatu sumber yang bergetar dan menyebabkan fluktuasi di udara melalui media yang elastis. Getaran yang ditimbulkan dari suara tersebut akan menyebabkan getaran pada benda-benda lain yang elastis di sekitarnya. Akibatnya benda-benda tersebut juga akan menimbulkan suara. Makin keras suara makin besar energi yang dihasilkan dan makin kuat pula getaran yang ditimbulkan.

Telinga adalah salah satu sistem sensor tubuh yang berhubungan dengan pendengaran dan keseimbangan. Pendengaran diperlukan oleh manusia untuk sesuatu yang penting misalnya komunikasi, mendeteksi lokasi suara yang kemungkinan menandakan adanya bahaya, dan juga untuk menikmati hal-hal yang sifatnya menyenangkan misalnya suara-suara alam atau musik. Pendengaran juga merupakan satu-satunya sensor pada tubuh kita yang dapat bekerja secara 360o baik dari kiri, kanan, depan, belakang, atas maupun bawah. Mekanisme tersebut tidak pernah berhenti semenjak kita belum lahir dan secara terus menerus menghubungkan perasaan kita sekaligus memberikan perlindungan terhadap lingkungan.
Untuk itu kita perlu mengetahui tentang mekanisme pendengaran manusia, bagaimana perjalanan suara dari sumber bunyi hingga bisa didengar oleh telinga manusia. Tanpa mengetahui hal itu kita akan kesulitan untuk memahami tentang apa yang disebut penurunan daya dengar akibat kebisingan (noise –induced hearing loss).

Telinga manusia mampu mendeteksi suara-suara dalam rentang frekuensi dan intensitas yang luas. Respon frekuensi bagi telinga orang muda yang sehat dapat bekerja dalam rentang antara 20 – 20.000 Hz. Tingkat intensitas minimum yang dapat diterima telinga pada suatu frekuensi tertentu disebut ambang dengar. Ambang dengar ini berbeda-beda untuk masing-masing individu bahkan di antara orang yang sama-sama mempunyai kapasitas pendengaran yang normal sekalipun. Hal ini sangat berkaitan dengan faktor usia, semakin tua maka semakin berkurang sesitivitas pendengarannya khususnya pada frekuensi tinggi (presbycusis) yang terjadi secara alami.

Selain karena faktor usia penurunan daya dengar manusia bisa disebabkan oleh karena terpapar kebisingan. Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki (unwanted sound) karena menyebabkan gangguan atau kerusakan organ telinga. Gangguan yang timbul akibat dari terpapar bising sangat tergantung dari intensitas kebisingan dan lamanya waktu pemaparan. Bisa hanya berupa gangguan kenyamanan, tuli sementara sampai kerusakan organ pendengaran yang bersifat permanen. Untuk itu diperlukan suatu pengelolaan yang baik terhadap sumber-sumber kebisingan dan tata laksana di tempat kerja, sehingga dampak negatif akibat kebisingan dapat dicegah sedini mungkin.

Sampai saat ini baik masyarakat umum maupun para pekerja di perusahaan masih belum sepenuhnya sadar akan dampak yang ditimbulkan akibat terpapar bising dan bahkan cenderung mengabaikannya. Padahal kebisingan bisa menimbulkan dampak kerusakan yang sangat serius baik bagi individu maupun bagi perusahaan. Meskipun demikian usaha untuk menangani dan mengendalikan bising di perusahaan belum dipandang sebagai hal yang perlu diprioritaskan. Sejauh ini baru sebagian kecil saja perusahaan di Indonesia khususnya di Jawa Tengah yang sudah menangani masalah kebisingan di tempat kerjanya secara serius. Sampai sejauh ini pula hampir tidak pernah terjadi klaim asuransi dari tenaga kerja mengenai kerusakan pendengaran akibat terpapar bising.

Selain karena belum sadarnya masyarakat akan bahaya bising tersebut, minimnya kasus-kasus gangguan kesehatan akibat bising yang muncul disebabkan oleh tidak adanya data tentang kondisi kesehatan pada awal tenaga kerja tersebut mulai bekerja di suatu perusahaan. Oleh karenanya sangat tidak mudah bagi para dokter untuk menegakkan diagnosa tentang penurunan daya dengar akibat terpapar bising atau mengklaim bahwa seorang tenaga kerja mengalami kerusakan pendengaran akibat bising dari tempat dimana dia bekerja.


II. SUMBER-SUMBER KEBISINGAN

Seperti sudah disebutkan bahwa kebisingan didefinisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki atau diinginkan karena menimbulkan gangguan baik fisiologis maupun psikologis. Sumber-sumber bising bisa berasal dari aktivitas industri, transportasi, maupun secara alamiah mis.; letusan gunung berapi, deburan ombak, angin kencang, dll. Untuk lebih memfokuskan masalah, dalam makalah ini akan lebih banyak membahas kebisingan yang ada di tempat kerja industri.

Penanganan kebisingan di tempat kerja haruslah ditujukan untuk memberikan perlindungan pada tenaga kerja dari pengaruh negatif kebisingan yang bisa mengakibatkan terjadinya penurunan tingkat pendengaran atau sering disebut Noise Induced Hearing Loss. Gangguan ini biasanya baru akan timbul setelah tenaga kerja bekerja secara terus menerus di tempat yang mempunyai intensitas bising tinggi dalam kurun waktu yang lama.

Sumber-sumber kebisingan di tempat kerja umumnya merupakan gabungan dari berbagai macam komponen sebagai berikut :
·         Fluid turbulence
·         Temperature difference
·         Moving and vibrating parts
·         Electrical equipment

Fluid Turbulence
Bising terbentuk oleh getaran yang diakibatkan benturan antar partikel dalam fluida. Bising seperti ini biasanya terjadi pada :
·   Pipa penyalur cairan/gas
·   Valve
·   Outlet pipa
·   Gas Exhaust, dll.

Temperature Difference
Bising terbentuk oleh karena adanya pemuaian dan penyusutan fluida. Biasanya terjadi pada :
·   Jet
·   Flare Boom
·   Gas, dll.


Moving and Vibrating Parts
Bising terjadi oleh karena getaran yang disebabkan adanya gesekan, benturan atau ketidakseimbangan gerakan bagian peralatan. Bising ini biasa terjadi pada :
·   Roda gigi / gear
·   Roda gila / fly wheel
·   Batang torsi
·   Piston torak
·   Fan / blower
·   Bearing, dll.

Electrical Equipment
Bising disebabkan oleh adanya efek fluks elektromagnetik pada bagian inti yang terbuat dari logam. Bising ini biasanya terjadi pada rentang frekuensi rendah, seperti yang terjadi pada :
·   Transformator
·   Balast
·   Motor listrik
·   Generator, dll.

Sedangkan berdasarkan karakteristik frekuensinya, sumber bising dapat dibedakan menjadi :
1. Discrete Frequency Noise, contohnya:
¨       Fan / Blower
¨       Compressor
¨       Pump
¨       Internal Combustion Engine
¨       Transformer
¨       Saw, Plannar

2. Broadband Noise
¨       Steam leak
¨       Hammer mill
¨       Petrochemical plant
¨       Gas tumbine
¨       Jet engine
¨       Gas fire-burner

3. Broadband and Discrete Frequency Noise
¨       Wood saw (dalam keadaan idle)


III. NILAI AMBANG BATAS KEBISINGAN

Telinga manusia memberikan respon secara logaritmis terhadap perubahan intensitas dan tekanan suara dengan rentang yang sangat luas. Untuk alasan ini, intensitas suara serta kekuatan dan tekanannya diukur pada skala logaritma dengan satuan 1 bel = 10 decibell (dB). Pada skala ini, nilai nol berarti tingkat suara yang paling rendah yang bisa didengar oleh telinga manusia.

Kebanyakan bising terdiri atas suara-suara dengan bermacam frekuensi atau biasa disebut frekuensi skala luas (broad-band frequency) yang berasal dari berbagai sumber bunyi. Telinga normal manusia mempunyai sensitivitas terhadap suara dengan frekuensi antara 20 Hz sampai 20000 Hz yang disebut rentang frekuensi audio dengan respon terbaik pada rentang 1000 Hz sampai 4000 Hz. Dikarenakan telinga manusia memberikan respon yang berbeda-beda terhadap frekuensi yang berbeda, maka dalam pengukuran kita mengenal istilah pembobotan suara. Hal ini dimaksudkan untuk mencocokkan antara tekanan suara yang terukur dengan suara yang benar-benar didengar oleh telinga manusia.

Untuk itu alat untuk mengukur kebisingan dilengkapi dengan filter pembobotan tingkat suara. Riset yang telah dilakukan menghasilkan empat pembobotan yang berbeda yaitu A, B, C dan D. Tekanan suara dengan pembobotan A, biasa ditulis dengan dB(A), adalah yang paling sesuai dengan respon dari telinga manusia.

Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa contoh intensitas suara yang dikeluarkan oleh beberapa sumber bunyi dan efeknya terhadap respon telinga manusia.

Decibel (dB)
Contoh (Pada Jarak 1 Meter Dari Telinga)
0
Batas rata-rata tingkat pendengaran orang muda normal
10
Batas
20
Daerah pedesaan yang sunyi
30
Studio broadcasting
40
Kantor yang tenang
50
Tingkat nyaman pendengaran
60
Percakapan normal
70
Menjengkelkan (kantor yang bising, printer atau mesin ketik)
80
Tidak nyaman (area pabrik yang bising)
85
Kerusakan pendengaran terjadi
90
Truk-truk berat, ruang mesin (printing, spinning kapas, finishing logam), otomotif
100
Pemecah batu, loom tekstil
110
Ruang genset, pembakaran, mesin gerinda, band saw, dll.
120
Drop press (lembaran logam), bor pneumatic (tambang)
130
Jet tinggal landas
140
Ambang rasa sakit
150
Kerusakan pendengaran (mesin jet di ruang tertutup)

Untuk melindungi tenaga kerja dari kerusakan pendengaran akibat kebisingan maka ditetapkan suatu Nilai Ambang Batas (NAB) atau Threshold Limit Value (TLV) sebagai pedoman dalam pengendalian kebisingan di tempat kerja. Nilai Ambang Batas adalah nilai rata-rata dari tingkat kebisingan tertinggi yang masih dapat diterima oleh telinga tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu kerja tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu.

Di Indonesia NAB kebisingan tempat kerja ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja nomor 51 tahun 1999 yaitu sebesar 85 dB(A).




III. KERUSAKAN PENDENGARAN AKIBAT KEBISINGAN

Secara sederhana kita bisa mengetahui apakah suatu kebisingan di tempat kerja sudah pada tingkat yang membahayakan, yaitu jika pada jarak sepanjang lengan kita harus meninggikan suara kita dalam berbicara agar bisa dimengerti oleh orang lain. Terdapat kesalahan pemahaman secara umum di kalangan masyarakat bahwa kerusakan pendengaran (hearing loss) hanya disebabkan oleh karena terpapar pada suara-suara yang sangat tinggi (lebih dari 90 dBA). Sedangkan resiko bahaya yang disebabkan oleh pemaparan suara-suara pada tingkat lebih rendah tetapi terus-menerus dan dalam waktu yang lama cenderung diabaikan.  Dalam kenyataannya adalah jika terjadi stimulasi yang kuat dan berulang-ulang dari suatu sumber bising, akan dapat menyebabkan kerusakan pendengaran. Kerusakan ini pada awalnya hanya sementara, tetapi jika terjadi secara berulang-ulang tanpa ada waktu pemulihan yang cukup maka akan terjadi kerusakan permanen yang disebut tuli akibat kebisingan dan ini tidak dapat disembuhkan. Semakin tinggi tingkat kebisingan dan semakin sering berulang, maka semakin besar tingkat kerusakan yang terjadi pada pendengaran.

Noise-induced hearing loss adalah kerusakan pendengaran akibat kebisingan yang disebabkan kerusakan pada sel bulu yang halus di bagian dalam telinga. Apabila pemaparan berlanjut akan merusak lebih banyak sel-sel ini sehingga menghambat transmisi beberapa sinyal dari syaraf ke otak.

Pada awalnya kebisingan menyebabkan penurunan daya dengar (peningkatan ambang dengar) sementara yang akan kembali pulih keesokan harinya. Perkembangan dari peningkatan ambang dengar sementara ini akan tergantung pada jumlah energi akustik yang diterima, daya tahan individu dan peningkatan frekuensi kebisingan. Peningkatan ambang dengar sementara bisa terjadi pada paparan kebisingan yang melebihi 85 dB(A) selama 8 jam terus menerus yang merupakan level ekivalen (LAeq8h 85 dB(A)).

Noise-indused hearing loss juga tidak mengenal batas usia sehingga dapat terjadi baik pada orang tua maupun anak muda. Tetapi sensitivitas terhadap bising pada masing-masing orang sangatlah bervariasi. Ada beberapa orang khususnya yang sensitif bisa mengalami ketulian hanya dalam beberapa bulan saja, sedangkan bagi yang kurang sensitif kemungkinan baru akan menunjukkan gejala-gejala awal setelah terpapar bising selama bertahun-tahun.

Secara luas pengaruh kebisingan pada pendengaran dapat dibagi dalam tiga ketegori, yaitu :
1. Trauma akustik
2. Tuli sementara
3. Tuli permanen

Selain tiga efek tersebut, pengaruh lain akibat terpapar kebisingan adalah suara mendengung pada telinga yang dikenal dengan tinitus. Efek ini biasanya terjadi pada mekanisme telinga, bukan pada tingkat analisa otak yang lebih tinggi.

A. Trauma Akustik (Acoustic Trauma)
Trauma akustik berhubungan dengan efek pemaparan tunggal atau pemaparan yang jarang, biasanya pada peledakan-peladakan alamiah. Selama terjadinya pemaparan jenis ini intensitas suara yang ekstrim mencapai telinga bagian dalam dan dapat menyebabkan struktur pada telinga bagian dalam melampaui batas  fisiologis dengan rusaknya gendang telinga dan sel-sel bulu rambut. Akibat ini pada akhirnya secara keseluruhan merusak organ Corti yang mungkin membutuhkan waktu beberapa bulan untuk kembali menstabilkannya.

Alasan lain mengapa kebisingan impulsif lebih merusak daripada kebisingan yang kontinyu adalah karena dua buah otot ossicles (otot timpani dan otot stapedius) mempunyai waktu reaksi 25 m/det untuk kebisingan tinggi. Hal ini jauh lebih lama dari waktu yang dibutuhkan bagi kebisingan yang paling impulsif sekalipun sehingga menyebabkan tidak adanya proteksi dari gerakan yang berlebihan pada ossicles. Intensitas kebisingan yang lebih rendah dari yang menyebabkan trauma akustik juga dapat menimbulkan ketulian jika berlangsung dalam intensitas dan waktu yang lama.

B. Tuli Sementara (Temporary Threshold Shift)
Hampir setiap rangsangan suara yang diterima oleh telinga akan menghasilkan suatu tingkat pendengaran yang berbeda. Rangsangan itu akan menghilang tergantung pada lama dan tingkat pemaparan pada masing-masing individu, bisa dalam beberapa detik, jam, hari bahkan minggu. Seberapapun lamanya tuli sementara tersebut tetap akan menyebabkan telinga perlu suatu pemulihan kembali. Selama waktu pemaparan pendek dan dalam interval waktu yang lama maka tidak akan menyebabkan efek permanen. Sebaliknya jika terpapar kebisingan yang menyebabkan tuli sementara secara berulang-ulang dalam waktu yang cepat, akan menyebabkan kerusakan pendengaran yang permanen. Pada umumnya hal ini terjadi pada tingkat pemaparan kebisingan di atas 90 dB.

Efektifitas suara dalam menyebabkan terjadinya tuli sementara tergantung pada frekuensinya. Suara-suara dengan frekuensi rendah mempunyai efek bahaya yang kecil. Atau dengan kata lain semakin tinggi frekuensi paparan suara maka semakin besar kemungkinannya untuk menyebabkan tuli sementara.

C. Tuli Permanen (Permanent Threshold Shift)
Tuli permanen adalah terjadinya kerusakan pendengaran yang sudah tidak dapat pulih atau disembuhkan kembali. Selain terjadi secara alami yang disebabkan oleh faktor usia, penurunan pendengaran juga akan terjadi apabila terus-menerus terpapar pada intensitas kebisingan yang tinggi. Tuli sementara setelah terpapar bising, dan kemungkinan terjadinya Tinitus, biasanya merupakan tanda-tanda terjadinya kerusakan pendengaran.

Tinitus bisa disebabkan oleh berbagai sumber bising bahkan dari musik yang sangat keras, biasanya berlangsung selama beberapa menit atau jam setelah terpapar bising yang tinggi dan akan hilang setelah berada jauh dari tempat yang bising. Oleh karenanya hal ini sering diabaikan dan lebih parah lagi biasanya dianggap sebagai bagian dari pekerjaannya.

Kerusakan telinga permanen hampir selalu dimulai dengan menurunnya sensitivitas pendengaran pada frekuensi 4.000 Hz dan jika terus-menerus terpapar bising maka akan secara bertahap turun pada frekuensi yang lebih rendah.

Hasil study Kryter dan Ward menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara ketulian temporer dan ketulian permanen. Beberapa kesimpulan yang bisa dijadikan pedoman adalah sebagai berikut :
  1. Kebisingan yang mencapai 80 tau 90 dB hanya menyebabkan sedikit penaikan ambang dengar yaitu 5 atau 10 dB. Namun jika kebisingan meningkat hingga 100 dB, ambang dengar akan naik antara 50 sampai 60 dB.
  2. Penaikan secara temporer pada ambang pendengaran adalah sesuai dengan durasi bising. Sebagai contoh kebisingan 100 dB selama 10 menit akan menghasilkan penaikan sebesar 16 dB, dan setelah 100 menit meningkat menjadi 32 dB.
  3. Lamanya waktu yang dibutuhkan pendengaran untuk kembali ke normal juga sesuai dengan intensitas dan durasi bising. Waktu pemulihan adalah sekitar 10 % lebih lama dibandingkan durasi bising.
  4. Pergantian periode paparan bising dengan yang lebih tenang akan mengurangi resiko ketulian sementara.


IV. PENGENDALIAN KEBISINGAN

Seperti halnya pada pengendalian faktor-faktor bahaya lain di tempat kerja, pengendalian kebisingan juga harus melalui urutan-urutan/hirarki (hierarchy of control) yang benar dan sesuai.

Enam langkah/metode yang biasanya dijadikan pedoman dalam hirarki pengendalian adalah sebagai berikut :
  1. Rekayasa ulang (redesign) --- mesin atau proses
  2. Penggantian (substitution) --- bahan atau proses
  3. Isolasi (segregation/isolation) --- sumber bahaya dari pekerja
  4. Pengendalian teknis (engineering control) --- pemeliharaan atau modifikasi mesin
  5. Pengendalian secara administrasi (administrative control) --- modifikasi jadwal kerja
  6. Alat pelindung diri (personal protective equipment) --- bagi para pekerja
   
Pengendalian kebisingan yang paling baik adalah dengan menghilangkan sumber suara darimana kebisingan tersebut berasal. Akan tetapi karena berbagai alasan biasanya langkah ini sangat sulit untuk dilakukan. Untuk itu dengan berpedoman pada enam langkah pengendalian di atas, kebisingan bisa dikendalikan melalui beberapa cara di bawah ini.

Pengendalian pada sumbernya
¨       Dengan merekasaya ulang (redesign) proses atau penggantian alat; misalnya menggantian roller dengan conveyor belt, penggunaan mesin-mesin yang tidak membutuhkan kipas pendingin, atau panggantian pipa-pipa logam dengan yang dari plastik.
¨       Dengan mengganti bahan-bahan atau proses yang menghasilkan bising; misalnya pembelian bahan-bahan dengan ukuran yang sudah dipotong sebelumnya untuk menghilangkan proses pemotongan.
¨       Dengan modifikasi teknis pada alat-alat dan mesin-mesin yang sudah terpasang; misalnya pemasangan isolasi atau damping pada bagian yang bergetar, mengurangi jarak jatuh material, atau penggantian komponen-komponen logam dengan bahan-bahan yang lebih rendah emisi suaranya.

Pengendalian pada jalan rambat kebisingan
¨       Pemisahan sumber bising dari pekerja; misalnya pemindahan ruang generator jauh dari tempat kerja.
¨       Isolasi peralatan yang bising di ruang kedap suara; misalnya pompa dan kompresor udara bisa ditempatkan di ruang dengan insulasi suara.
¨       Isolasi pekerja di ruang kedap suara; misalnya ruang operator mesin dengan remote-control panel.
¨       Modifikasi teknis pada peralatan atau bahan-bahan yang mengeluarkan bising; misalnya pemasangan penghalang kebisingan frekuensi tinggi, pembuatan alat-alat anti kebisingan atau pemasangan panel-panel penyerap kebisingan pada dinding atau atap ruangan.
¨       Pengendalian secara administrasi untuk mengurangi waktu pemaparan pekerja terhadap kebisingan; misalnya rotasi pekerjaan sehingga tidak ada pekerja yang terpapar kebisingan melebihi ambang batas.
¨       Penggunaan alat pelindung diri (APD) untuk menghalangi rambatan kebisingan pada pekerja; misalnya jika sudah tidak ada langkah-langkah pengendalian yang mungkin dilakukan maka ear plug atau ear muff menjadi alternatif terakhir untuk melindungi pekerja dari resiko bahaya kebisingan.



V. HEARING CONSERVATION PROGRAM

Hearing Conservasion Program (HCP) atau program pemeliharan pendengaran adalah sebuah program yang bertujuan untuk mencegah terjadinya noise induced hearing loss. Atau bisa dikatakan bahwa HCP merupakan sebuah prosedur terencana dalam mengevaluasi dan mengendalikan kebisingan dan mencegah terjadinya kerusakan pendengaran seseorang yang terpapar kebisingan tinggi.

Ada lima elemen pokok dalam melaksanakan HCP di perusahaan, yaitu :
1. Suvei kebisingan
2. Pengendalian secara teknis dan administratif
3. Pendidikan dan latihan
4. Perlindungan pendengaran (APD)
5. Monitoring audiometri

Selain kelima elemen tersebut, agar pelaksanaan HCP bisa efektif dan sesuai dengan yang diharapkan, maka ada beberapa elemen lain yang juga perlu diperhatikan seperti pernyataan kebijakan dari top manajemen, evaluasi dan sistem pemeliharaan rekaman.

A. Keuntungan Pelaksanaan HCP
Ada beberapa keuntungan dari program ini tentunya baik bagi pekerja maupun bagi pengusaha. Keuntungan-keuntungan tersebut diantaranya adalah :

1. Bagi pekerja
Keuntungan yang utama bagi pekerja tentunya adalah mencegah terjadinya kerusakan pendengaran, hanya saja mengapa hal ini begitu penting? Jawabnya adalah bahwa kerusakan pendengaran oleh sebab apapun akan menurunkan kualitas hidup orang yang mengalaminya. Karena gangguan pendengaran akan mengganggu komunikasi secara normal yang tentunya masalah yang besar dalam kehidupan manusia. Dalam beberapa jenis pekerjaan ketajaman pendengaran sangat diperlukan, dan kemungkinan dapat menunjang karir seseorang. Pada saat bekerja pendengaran juga diperlukan untuk berkomunikasi dengan orang lain, menerima telepon, mendeteksi adanya kerusakan pada mesin, dan sebagainya.

Setelah pulang ke rumah, pendengaran juga diperlukan untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga atau masyarakat yang lain, karena hanya dengan berkomunikasi seseorang akan merasa terlibat dalam suatu komunitas. Manusia juga memerlukan pendengaran untuk bisa menikmati hidup seperti mendengarkan musik, suara burung, dan sebagainya. Oleh karena berbagai alasan tersebut maka memiliki pendengaran yang baik menjadi suatu keuntungan yang tidak ternilai.

Selain itu HCP juga memberikan screening kesehatan, khususnya telinga, bagi pekerja melalui tes audometri sehingga gejala-gejala atau panyakit-penyakit telinga lain yang bukan disebabkan paparan bising di tempat kerja juga dapat terdeteksi dan diharapkan dapat ditangani secara dini.

2. Bagi pengusaha
Keuntungan yang diperoleh pengusaha jika menerapkan HCP dengan efektif secara otomatis akan terlihat berupa peningkatan produktivitas karena tidak adanya gangguan komunikasi pada pekerja. Pekerja dengan pendengaran yang baik juga akan lebih peka dan bisa ditempatkan pada pekerjaan-pekerjaan dimana komunikasi menjadi syarat utama misalnya operator telepon atau dalam rapat-rapat. HCP yang efektif juga dapat mengurangi angka kecelakaan dan meningkatkan efisiensi kerja, serta mengurangi stres dan kelelahan akibat pemaparan kebisingan. Pelaksanaan HCP yang efektif juga akan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan aman yang bisa meningkatkan citra pengusaha.

Pada akhirnya dalam masalah keuangan, jika seorang pengusaha melaksanakan HCP dengan efektif maka akan dapat keuntungan ganda yaitu hilangnya biaya pencegahan dan meningkatnya produktivitas. Untuk memperoleh keuntungan tersebut pada awalnya mungkin  dibutuhkan dana yang besar, namun jika HCP tidak dilaksanakan maka pengusaha akan mengeluarkan biaya yang mungkin lebih besar guna membayar kompensasi dan premi asuransi. Atau jika HCP dilaksanakan dengan setengah-setengah dan tidak efektif maka semua biaya yang dikeluarkan justru akan terbuang percuma.

B. Pelaksanaan HCP
Seperti telah disebutkan diatas, ada lima elemen pokok dalam melaksanakan HCP di perusahaan. Penekanan terhadap masing-masing elemen kemungkinan berbeda antara perusahaan satu dengan yang lain tergantung dari fasilitas produksi yang dimilikinya, namun setiap elemen merupakan bagian esensial bagi suatu program yang efektif.

1. Pendidikan dan latihan
Pendidikan dan latihan merupakan elemen yang sangat penting karena personil HCP dan pekerja tidak akan berpartisipasi secara aktif dalam pemeliharaan pendengaran jika mereka tidak mengerti tujuan dan keuntungan dari program tersebut. Pengusaha juga harus menekankan bahwa pemenuhan terhadap peraturan-peraturan dalam perusahaan merupakan suatu syarat dalam bekerja. Tanpa adanya pendidikan dan latihan yang baik untuk memotivasi setiap individu dan pengawasan yang konsisten, maka pelaksanaan HCP akan gagal.

Usaha pendidikan dan latihan harus dimulai meskipun survey kebisingan dan pengendalian secara teknis belum dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil pemaparan yang representatif dan meningkatkan daya terima pekerja terhadap modifikasi pada mesin. Demikian juga keberhasilan dari tahap perlindungan telinga dan monitoring audiometri sangat tergantung pada pengajaran bagi pekerja tentang bagaimana memahami dan memperhatikan pendengaran mereka. Pada HCP yang efektif, pendidikan dan latihan HCP akan terus berlanjut –tidak hanya sekedar presentasi tahunan- namun para personil HCP dalam setiap kesempatan selalu mengingatkan yang lain tentang pemeliharaan pendengaran.

2. Survey kebisingan
Tahap ini mencakup penentuan tigkat pemaparan kebisingan yang berbahaya bagi pekerja sehingga kebijakan HCP yang sesuai dapat dibuat untuk melindungi mereka. Misalnya pemilihan pelindung telinga hanya disediakan bagi pekerja di bagian-bagian yang mempunyai paparan kebisingan sangat tinggi. Survei kebisingan juga dapat menunjukkan sumber suara yang dominan di setiap bagian dan menentukan di mana pengendalian teknis yang secara signifikan dapat menurunkan paparan kebisingan.

3. Pengendalian secara teknis dan administratif
Tahap ini bertujuan untuk menurunkan paparan pekerja sampai pada tingkat kebisingan yang tidak membahayakan. Pengendalian secara teknis meliputi modifikasi sumber bising ( mis. pemasangan filter pada knalpot ), jalannya suara ( mis. pemasangan peredam yang menutup sumber suara ) atau pada receiver/penerima ( mis. dengan membuat ruangan yang yang terpisah dari sumber bising ). Sedangkan pengendalian secara administratif meliputi penggantian mesin-mesin yang sudah tua dengan yang model terbaru, membuat program perawatan peralatan, dan mengganti jadwal kerja pekerja untuk mengurangi dosis kebisingan dengan cara membatasi wavktu pemaparan.

4. Perlindungan pendengaran (APD)
Pada tahap ini HCP menyediakan alat pelindung telinga (ear muff/plug) bagi pekerja dan memberikan latihan bagaimana cara memakainya secara efektif jika bekerja pada tempat kerja dengan tingkat kebisingan tinggi. Yang perlu diperhatikan dalam memilih alat pelindung telinga, adalah tingkat atenuasi dari alat tersebut, agar perlindungan dapat diberikan secara efektif.

5. Monitoring audiometri
Pada tahap ini bagi setiap pekerja dilakukan pemeriksaan pendengaran tahunan untuk memonitor status pendengaran dan mendeteksi setiap perubahan pendengaran yang terjadi. Apabila HCP berjalan baik maka tidak akan ada perubahan yang berhubungan dengan kerusakan pendengaran akibat paparan kebisingan di tempat kerja. Jika dideteksi adanya penrubahan status pendengaran akibat kebisingan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, seperti penyakit atau dari hobinya, maka hal ini harus didokumentasikan dan segera dilakukan tindakan koreksi untuk meminimalisir dampaknya di tempat kerja.









VI. P E N U T U P

Akhirnya diharapkan pada seluruh pihak yang terkait untuk bersama-sama menanggulangi masalah kebisingan terutama dampaknya pada masyarakat umum dan pekerja. Bagi mereka yang seringkali terpapar pada lingkungan kerja yang bising supaya lebih mematuhi norma-norma kesehatan kerja terutama yang berhubungan dengan masalah kebisingan. Hindari tempat-tempat dengan tingkat kebisingan tinggi dimanapun dan kapanpun bila memungkinkan. Dengan demikian akan terhindar dari resiko bahaya ‘noise-induced hearing loss’ atau gangguan kesehatan akibat terpapar kebisingan yang lain.

Demikian makalah ini disusun sebagai bahan pedoman dalam penatalaksanaan kebisingan di tempat kerja dan upaya perlindungan pendengaran tenaga kerja, sehingga tercipta masyarakat pekerja yang produktif dengan derajat kesehatan yang tinggi.






VII. DAFTAR PUSTAKA


1. Accoustic Engineering and Training Services Indonesia, Noise Control Management

2. Grantham D, Occupational Hygiene (Intermediate), Queensland, 1997

3. Grandjean E, Fitting The Task To The Man, Taylor & Francis, London, 1995

4. Groothoff B, Noise and Vibration–Their Effects and Control, Queensland 1996

5. Royster, JD and Royster, LH, Hearing Conservation Program-Practical Guidelines for Success, Lewis Publisher, Michigan, 1990

6. Victorian Occupational Health and Safety Comission, Health and Safety At Work, Melbourne, 1991

Komentar

Postingan Populer